Di Iran, anak laki-laki berusia 15 tahun yang melakukan kejahatan sudah disebut sebagai dewasa. Anak perempuan pelaku kejahatan bahkan sejak berumur sembilan tahun sudah harus menjalani hukuman sebagai orang dewasa. Pengacara Mohammad Mostafaee adalah spesialis kriminalitas anak dan remaja. Menurut Mostafaee, jumlah sebenarnya remaja pelaku kejahatan yang menjalani hukuman mati lebih tinggi dari yang diungkap oleh Amnesty International.
“192 negara telah menandatangani konvensi hak anak PBB. Lima negara di antaranya masih menghukum mati anak-anak. Sayangnya Iran menduduki posisi pertama. Dalam dua tahun terakhir ini saja, 35 hingga 36 remaja menjalani hukuman mati. Ini membuat saya dan banyak orang lainnya khawatir,“ kata Mostafaee.
Bab 37 konvensi hak anak PBB melarang penyiksaan, hukuman mati dan penjara seumur hidup bagi anak pelaku tindak kriminal di bawah umur 18 tahun. Pemerintah Iran dan 55 negara muslim yang menandatangani konvensi tersebut mengklaim bahwa mereka tidak menghukum mati anak-anak dan remaja, demikian dijelaskan pengacara dan pembela hak azasi manusia Mohammad Seifzadeh. Namun banyak negara yang melakukan strategi yang diungkapkan Seifzadeh. "Mereka menahan anak usia 14 atau 15 tahun dan menuntut anak-anak itu hukuman mati. Lalu anak-anak itu ditahan di penjara hingga cukup umur, lalu dihukum mati. Menurut pendapat saya, anak-anak itu dihukum dua kali,“ katanya.
Strategi yang dijalankan Iran ini, membuat Iran tidak hanya melanggar konvensi hak anak internasional, tapi juga melanggar bab enam pakta internasional mengenai hak sipil dan politis yang diberlakukan mulai tahun 1966. Pakta tersebut melarang hukuman mati terhadap anak dan remaja. Pakta tersebut juga ditandatangani Iran.
Menurut hukum internasional, Iran diwajibkan untuk melindungi hak pelaku kejahatan yang masih di bawah umur dan mengupayakan agar anak dan remaja pelaku kejahatan itu tidak dihukum mati, demikian ditekankan Amnesty International. Organisasi pembela hak azasi manusia itu, menyerukan Iran untuk mereformasi kitab undang-undang hukum pidana bagian hukuman mati bagi anak-anak pelaku semua jenis kejahatan.
Pada Oktober 2008, wakil Jaksa Agung Iran, Hossein Zabhi, memerintahkan supaya tidak lagi memberlakukan hukuman mati terhadap anak dan remaja. Tapi perintah itu tidak berlaku bagi anak dan remaja terdakwa pelaku pembunuhan. Terdakwa pelaku pembunuhan nantinya akan dihukum dengan prinsip qishas, yaitu prinsip balasan yang setimpal.
Amnesty International sudah meminta keterlibatan pemimpin religius tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei dalam masalah hukuman mati terhadap anak dan remaja. Sebagai pemimpin agung Iran, hanya Ayatollah yang punya otoritas untuk mencabut pemberlakuan hukuman mati terhadap anak dan remaja.