Dalam beberapa tahun belakangan ini, Malaysia terlihat agresif menggarap potensi bisnis di Indonesia, mulai perkebunan, pertambangan, telekomunikasi, perbankan, asuransi, pendidikan, hingga sektor kesehatan. Mereka pun sukses mendulang keuntungan. Sebaliknya, Indonesia terkesan hanya mampu menggaet ringgit dari tenaga kerja informal di negeri jiran itu.
Selama 2007-2009, data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi Malaysia di Indonesia sekitar US$ 1 miliar. Dari sisi neraca perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca perdagangan Indonesia-Malaysia membengkak. Tahun lalu, nilai impor Indonesia dari Malaysia mencapai US$ 8,9 miliar, sedangkan nilai ekspornya hanya US$ 6,4 miliar. Sebaliknya, Indonesia ‘sukses’ mendulang devisa dari sekitar dua juta tenaga kerja Indonesia (TKI) yang merantau ke negeri jiran itu.Di Indonesia, para pemodal Malaysia telah merasuki aneka sektor bisnis. Di sektor perkebunan, para pemodal Malaysia telah menguasai sekitar 2,1 juta hektare dari 5,2 juta ha lahan kelapa sawit. Hal ini memperkuat sinyalemen 50 perusahaan Malaysia telah mengontrol 50% lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
“Keberhasilan perusahaan sawit patungan di Indonesia tergantung kesanggupan kita menjaga keamanan mitra Indonesia,” ujar Boon Weng Siew, president
Malaysian Estate Owners Association, seperti dikutip StarBiz, beberapa waktu lalu.
Namun, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) tidak yakin kalau pengusaha sawit Malaysia sudah menguasai 50% lahan sawit di Indonesia.
Berdasarkan data Gapki, 40% luas perkebunan kelapa sawit saat ini milik rakyat dan badan usaha milik negara (BUMN), yaitu masing-masing 2,1 juta hektare (ha) untuk rakyat dan 800 ribu ha milik BUMN. Sebagian besar adalah milik perusahaan swasta Indonesia. “Secara langsung, pengusaha Malaysia mungkin hanya memiliki luas lahan sawit di Indonesia sekitar 400-500 ribu ha,” jelas Susanto, ketua bidang pemasaran Gapki.
Meski Malaysia begitu ekspansif ke Indonesia, menurut Susanto, pemerintah tidak bisa membatasi investasi di perkebunan kelapa sawit oleh pengusaha asal Malaysia. Pasar bebas tidak mengenal pembatasan investasi asing. “Namun, pemerintah bisa menetapkan aturan untuk menyeleksi investasi asing. Hal itu untuk memberikan dukungan kepada pengusaha lokal supaya lebih eksis di perkebunan kelapa sawit,” jelas dia.
Sebelum memberikan izin baru, pemerintah perlu mewajibkan setiap pengusaha lebih dahulu membangun plasma sebesar 20%. “Tujuannya, supaya investasi yang datang dari investor asing itu benar-benar bisa diserap langsung oleh masyarakat,” jelas Susanto.
Dirjen Perkebunan Deptan Ahmad Mangga Barani mengakui, perusahaan Malaysia makin gencar mengakuisisi perkebunan kecil di Indonesia. Namun, pemerintah pusat sulit memantau aksi akuisisi itu karena izinnya lewat pemerintah daerah.
Di sektor perbankan, negeri jiran itu juga telah memantapkan posisinya melalui sejumlah bank, seperti CIMB Niaga dan Bank Internasional Indonesia (BII). CIMN Niaga adalah perusahaan keuangan yang sahamnya di perdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Per 31 Maret 2009, kapitalisasi pasar CIMB Niaga tercatat sebesar R p11,25 triliun. CIMB Niaga merupakan bank keenam terbesar di Indonesia dari segi asset (Rp 102,9 triliun).
Di sektor telekomunikasi, mereka mengepakkan sayapnya melalui PT Excelcomindo Pratama. Tahun ini, operator seluler itu berharap bisa menambah empat juta pelanggan baru menjadi 30 juta dari akhir 2008 sebanyak 26 juta. Meski rugi bersih Rp 306 miliar, pada kuartal I 2009, pendapatan XL naik dari Rp 2,65 triliun menjadi Rp 2,926 triliun. “Jika saja kurs rupiah stabil di bawah Rp 10.500, setidaknya XL bisa membukukan keuntungan bersih Rp 400 miliar,” jelas Hasnul Suhaimi, presiden direktur Excelcomindo.