JAKARTA - Pakar teknologi lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Mubiar Purwasasmita, berpendapat, bila kelestarian hutan di Jawa Barat tidak segera diselamatkan, diperkirakan sebagian Pulau Jawa akan tenggelam, karena selama ini masalah air di Jawa sangat bergantung pada pengelolaannya di Jabar.“Hutan di Jabar tidak hanya mengatur ekologi air di wilayah itu, tetapi juga Jakarta dan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Jika tidak segera diselamatkan, sebagian Pulau Jawa akan tenggelam dan hancur karena banjir besar,” kata Mubiar kepada Pembaruan, di Jakarta, Kamis (21/2).
Pernyataan Mubiar berkaitan dengan diskusi yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Rabu (20/2) lalu, bahwa penebangan hutan untuk industri (industrial logging) di Indonesia, termasuk di Jabar, mempercepat penyusutan hutan alam sebesar 3.000.000 hektare per tahun. Angka kerusakan hutan itu tertinggi di dunia.
Pada diskusi itu terungkap pula bahwa PT Perhutani, yang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 2001 memiliki izin mengelola kawasan hutan produksi seluas 1.900.000 hektare di Pulau Jawa, justru dinilai menjadi pelaku utama kerusakan hutan.
Direktur Eksekutif Walhi Emmy Hafild mengatakan, luas kawasan hutan di Pulau Jawa tinggal 23 persen dari luas daratan 12.524.357 hektare. PT Perhutani memegang izin pengelolaan hutan untuk produksi 1.900.000 hektare dari 2.926.949 ha hutan di Pulau Jawa, sedangkan luas hutan produksi 1.811.814 hektare.
Menurut Emmy, sekitar 43 persen atau 1.058.904 hektare harus berupa tanaman jati, sedangkan sisanya 752.910 hektare tanaman nonjati. Selama ini kayu jati bulat masih dianggap sebagai komoditas andalan yang memberikan pendapatan terbanyak dari total penghasilan perusahaan dibandingkan hasil yang lain.
Pada 1999, hasil penjualan industri dari PT Perhutani Rp 151,5 miliar, delapan persen dari seluruh pendapatan yang diperoleh. Dalam periode itu, PT Perhutani mengaku seluruh industrinya merugi.
Dalam tahun yang sama, pencurian pohon sebagai penyebab langsung kerusakan hutan tercatat 3.179.973 batang, meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Sedangkan kerusakan hutan akibat kebakaran pada 1999 terjadi pada lahan seluas 374.944 hektare, dan tahun sebelumnya 7.063 hektare.
Hal itu, kata Emmy, menunjukkan bahwa pengelolaan hutan oleh PT Perhutani tidak berjalan efisien akibat besarnya biaya usaha yang harus dikeluarkan untuk pembenahan yang tidak terencana. Apalagi, tidak ada peran industri kayu jati yang dikelola, sehingga praktek pengelolaan hutan yang dilakukan PT Perhutani tidak lestari. Akibatnya, kerusakan hutan di Pulau Jawa semakin parah.