"Mudah-mudahan kita bisa mulai mengekspor Komodo pada 2009 nanti, atau paling lambat 2010. Rencananya memang bus ini kita pasarkan di kawasan Asia," kata Direktur Marketing PT AAI Ruddy Soesilo.
Sejauh ini ada dua negara yang berminat membeli Komodo yang memiliki panjang 18 meter tersebut dan semuanya dalam bentuk "Completely Build Up" (CBU).
"Sekarang ini memang masih dalam tahap penjajakan. Potensi terbesar ya Malaysia karena mereka telah memiliki jaringan SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) yang menyebar," terang Ruddy.
Karena investasi untuk membuat jaringan transportasi "Mass Rapid Transit" (MRT) atau monorel sangat besar, maka pilihan kemungkinan jatuh pada sistem "Bus Rapid Transit" (BRT) seperti busway.
Menurut Ruddy, investasi yang dibenamkan pada sistem BRT tidak terlalu besar, hanya seperdelapan belas dari sistem MRT maupun monorel, sehingga sistem BRT lebih mungkin diterapkan di Malaysia.
"Di Malaysia BRT belum ada dan penduduknya tidak terlalu banyak hanya sekitar 25 juta jiwa. Jadi kebutuhan bus gandengnya juga tidak terlalu besar, paling 20 unit per bulan," kata Ruddy.
PT AAI menyebut bus gandeng CNG dari Eropa dan Cina sebagai pesaing mereka, tetapi pengembangan chassis bus gandeng di Cina bukan yang "high floor" seperti pada busway di Indonesia setinggi 110 sentimeter dari permukaan jalan.
"Kita harap bisa mengekspor 50 unit per tahun. Singapura juga sangat mungkin menjadi pasar ekspor bus gandeng kita, tetapi memang negara tersebut juga menggunakan bus gandeng `low floor`," ujar dia.
Menurut Ruddy, perusahaannya juga mampu mengembangkan bus gandeng dengan chassis "low floor" seperti digunakan Singapura saat ini. Harga produk Indonesia sendiri hanya Rp4 miliar per unit atau hampir setengah dari hari produk Eropa yang mencapai Rp7 miliar per unit.